Selasa, Agustus 28, 2007

Mom Said, Dad Said


Bismillahirrahmanirrahim,
Pfffiuh....setelah hiatus berbulan2 (hmmm...berapa lama ya saya ngilang dari peredaran?) akhirnya berkat dorongan teman2 yang gak henti2nya ngasih support. Saya balik lagi.
Kemaren secara tidak sengaja saya menemukan peristiwa menarik yang terus terbayang2 dalam benak saya tentang ambiguitas dalam mendidik anak.
Hehehe, mungkin ada yg bertanya2 saya ini kenapa? Setelah sekian lama hiatus....muncul2 eh langsung ngebahas masalah hal-ihwal mendidik anak, kayak udah punya anak aja (padahal married aja belom:p)

Jadi gini ceritanya. Kemaren itu ada kawan dari Adelaide (sebut aja namanya Mbak S) yang lagi berkunjung ke Sydney bareng suami dan dua orang putrinya yang masing2 berumur 14 tahun dan 6 tahun. Sebagai host yang baik, tentulah saya bersedia dengan senang hati menemani mereka melihat tempat2 menarik yang ada diSydney. Kebetulan tempat yang kami tuju adalah kompleks Darling Harbour dimana disana juga terdapat beberapa tujuan wisata keluarga menarik seperti Sydney Wildlife World, Sydney Aquarium, Chinese Garden, Harbourside Mall, National Maritime Museum, dll.

Setelah puas berkeliling ke kedua tempat pertama, kami ngaso sebentar sambil having late lunch. Pada saat itu anak Mbak S yang bungsu main diPlayground bareng teman2 sebayanya yang disediakan dalam kawasan Sydney Aquarium. Saya perhatikan (karena pada saat itu saya sedang asik mengujicobakan kamera Canon S5 IS pada si bungsu ini), si bungsu lebih senang memisahkan diri dari anak-anak yang lain. Dia memilih bermain mobil statis sendirian sambil mengamati anak2 sebayanya bermain berlari-larian, tanpa ada inisiatif tuk bergabung bersama mereka. Selang 20 menit kemudian, datang seorang anak laki-laki yang berusia sebaya dengan si bungsu. Anak laki-laki ini yang sepertinya adalah keturunan Anglo-saxon (Australian) juga ingin mencoba mengemudikan mobil statis yg sedang digunakan si bungsu. Mulanya, saya lihat si anak laki-laki itu mengatakan sesuatu yang diikuti oleh gelengan kepala dari si bungsu. Mungkin karena kesal, si anak laki-laki itu lalu mendorong si bungsu, hingga si bungsu hampir tergencet ke dinding (mobil-mobilannya berada dalam kapsul bulat seperti UFO). Si bungsu pun tidak tinggal diam, dia lalu memukul anak laki-laki itu dibagian bahunya. Tidak lama keduanyapun sudah mulai menangis dan menjerit sambil tetap saling mendorong satu sama lain. Saya yang pertama kali menyadari kalau mereka berdua sedang bertengkar, lalu memberitahu mbak S kalau anaknya sedang bertengkar dengan teman sebayanya.

Sontak mbak S berteriak, "stop...stop!! Don't quarrel please. "A (nama si bungsu) come here , give turn to him (anak laki2)". Ayah anak laki-laki itupun yang belakangan baru menyadari anaknya terlibat pertengkaran datang melerai dan melarang putranya tuk bertengkar. Tapi rupanya, suara kedua orangtua yang berbeda kewarga negaraan ini tidak mampu meredam tangan2 kecil itu untuk saling mendorong bahkan memukul satu sama lain. Tidak lama kemudian datang penjaga playground, seorang wanita paruh baya yang kemudian melerai kedua anak kecil ini. Setelah dipisah, kedua anak kecil itu sepertinya dinasehati untuk saling bergantian walaupun masih saling terisak satu sama lain, tapi kedua kepala kecil mereka terangguk-angguk tanda mengerti apa yang dikatakn oleh wanita tersebut.

Nah....Yang membuat kening saya berkerut dari peristiwa itu adalah, saat mbak S dan bapak si anak laki-laki tadi berusaha melerai (mereka hanya bisa berteriak dari luar sebab playground itu dibatasi oleh pagar tinggi yang tembus pandang ke dalam), suami mbak S malah meneriaki anaknya seperti ini "Pukul dek..pukul, hit him..hit him!!, jangan mau kalah adek. Hit on his head...hit saja, dont'be scare......., hit, jangan mau disakiti seperti itu!!

Sontak Saya yang mendengar juga beberapa bule2 yang ada disekitar itu jadi melongo kearah suami mbak S (apa gak salah denger nih?). Kok mas P (suami mbak S) ngomong kayak gitu? Ya iyalah....kok bisa seperti itu kata2 yang dilontarin, rasanya kata2 seperti itu gak appropriate aja diucapin didepan banyak orang apalgi ini bukan di Indonesia lho, tapi di Australia. Yang seyogyanya melerai, kok malah jadi memprovokasi anak.

Saat si bungsu sudah berada ditengah-tengah kami, suami mas P terus-terusan saja merecoki si bungsu dengan kalimat2 provokatif sepeprti: "Lain kali kalo ada yang seperti itu sama adek, lawan saja. Bapak tau gimana sakitnya dipukuli sepeprti itu mentang2 dulu Bapak badannya paling kecil. "Dulu bapak mau ikut bela diri, tapi selalu dilarang sama Mbah Kakung juga Mbah Putri", Bapak selalu mau bales anak-anak itu tapi tidak bisa". Respon saya: Hmmmm....(??????)

Dari cerita mbak S, akhirnya saya mengerti kenapa suaminya berlaku seperti itu. Rupanya saat kecil dulu, karena merupakan anak tunggal, dulunya dia selalu dibela oleh ibunya setiap kali ada anak tetangga yang iseng terhadapnya. Juga karena badannya paling kecil, maka dia tidak berani melawan. Tapi rupanya dia memendam peristiwa itu dan mempersonalisasikannya kedalam pola asuh anaknya. Appaun itu dia selalu merefer balik ke masa kanak-kanaknya dulu yang menurutnya kurang bahagia. dan dia tidak ingin masa-masa itu terulang ke anak-anaknya.

Mbak S sempat mengeluh, bahwa betapa susahnya menerapkan pola asuh yang berbeda kutub pada kedua putrinya. Apapun yang diajarkannya pasti sebagian besar bertentangan dengan yang diajarkan suaminya. Mbak S menerapkan disiplin pada putrinya karena didikan orangtuanya dulu sepeprti itu, tetapi suaminya malah sebaliknya overprotectif tapi serba permissif, membolehkan anak2nya melakukan apa saja yang mereka sukai (karena menurut pengalamannya waktu kecil dulu sangat tidak menyenangkan jika dilarang untuk melakukan hal yang disukai). Misalnya: ketika si bungsu diterapkan jam bermain dan jam belajar, suaminya kontan menentang, alasannya bakal mengekang kebebasan anak. Tidak jarang mereka jadi bertengkar karena adanya perbedaan-perbedaan prinsipil dalam mendidik anak tadi.

Yang kasihan adalah anak2nya, mereka jadi kebingungan sebenarnya patron yang seperti apa yang harus mereka ikuti. Seyogyanya didalam keluarga hanya ada satu patron yang menjadi ground rules bagi anak2. Kalo dulu di indonesia mungkin mereka didominasi oleh culture Jawa yang mana anak harus patuh penurut dan manut apa kata orang tua, buat mereka mungkin bisa dikompromikan. Tapi masalhnya disini juga mereka berjuang berusaha beradaptasi dengan culture anglo-saxon yang totally different, yang mereka temui setiap harinya diChildcare ataupun sekolahan ditambah dengan diversity yang berasal dari kedua oarngtuanya.

Dari melihat peristiwa tersebut saya jadi sempat mikir, ternyata rumit juga ya kalo kita memiliki pasangan yang berasal dari keluarga yang pola asuhnya bertolak belakang dengan pola asuh keluarga kita. Kalo ditanya, pola asuh sepeprti apa yang terbaik untuk anak-anak kita kelak, saya yakin sebagian besar dari anda akan berargumen bahwa pola asuh keluarga andalah yang paling baik yang akan diterapkan kelak. Menurut textbook yang dulu pernah saya baca ttg pola asuh anak, kita tidak bisa mengcopy utuh2 apa yang sudah kita terima dulu sebagai anak lalu kita terapkan pada anak kita kelak. Banyak faktor yang harus dipertimbangkan matang2 sebelum memutuskan pola asuh seperti apa yang akan diterapkan. misalnya jaman yg berbeda, karakteristik anak (usia, kondisi psikologis), role model dalam keluarga, dll.

Komunikasi & kolaborasi dan juga sama-sama mau belajar bersama dengan pasangan, mungkin bisa meminimalisir perbedaan dalam mendidik anak2 kita kelak, insya allah.

3 komentar:

  1. kunci sukses mendidik anak: kerjasama, kerjasama dan kerjasama. Kalo ternyata belom sukses, bisa mencoba melakukan ketiga kiat sebelumnya ...

    BalasHapus
  2. Betul itu.. di mana-mana yang jadi korban memang si anak...

    BalasHapus
  3. Saya rasa, sang Ayah sebenarnya ingin agar anaknya tidak seperti dirinya. Karena rasa sayangnya yang besar pada anaknya itulah, dia menganggap anaknya perlu menjadi anak yang kuat, harus disupport segala kemauannya.

    Dari sisi psikologis, perasaan ini mungkin dianggap agak keliru. Ada sedikit tips yang menarik dari beberapa kasus yang aq pernah temui, sang Ibu sebaiknya melalukan affirmasi dulu terhadap tindakan sang Ayah. Penerimaan ini penting, sehingga sang Ayah akan merasa didukung dan dihargai pola fikirnya oleh pasangannya. Sejauh apa penerimaan yang dilakukan? Menurut saya, setidaknya dilakukan dengan dua hal: tersenyum atau tidak mengkritik. Dua hal ini, sekalipun seakan-akan merupakan persetujuan, tetapi sebenarnya adalah upaya untuk memberikan rasa aman (melindungi) dari trauma masa kecil..

    Setelah affirmasi, biasanya orang akan cenderung terbuka menerima pendapat orang lain. Disini saatnya untuk melakukan affection. Secara contoh, dapat dilakukan dengan perkataan: sayang, aq tahu engkau marah... (tapi sekalipun engkau marah) aq ingin dirimu tahu kalau Ibu tetap sayang Ayah.

    Setelah tahap kedua berhasil, maka tahap perbaikan bisa dilakukan..

    Berapa lama bisa melakukan hal ini... Yang jelas, afirmasi dan afeksi butuh latihan, setidaknya dengan menaham mengeluarkan respons langsung setelah ada aksi.

    Dooh, kok jadi diskusi psikologi sih ???

    BalasHapus