Rabu, Juni 04, 2008

Pride & Prejudice

Merunut dari judul diatas, saya bukannya ingin bercerita tentang hubungan cinta unik antara Mr. Darcy dan Lizzy dalam film anyar Pride & Prejudice. Melainkan saya ingin share tentang kejadian lucu plus miris yang menimpa saya kemarin.

Ceritanya gini, saat saya berbelanja sepatu diMatahari MP, teman kantor saya Ulid menanyakan apa saya punya kartu MCC (Matahari Club Card) atau tidak. Seingat saya, duluuuuuuu.... sekali sebelum berangkat ke Oz saya punya, tapi karena sudah lebih dari dua tahun tidak digunakan, saya pikir pasti sudah expire keanggotaannya. Dengan asumsi itu, saya memutuskan untuk registrasi member baru. Kebetulan counter tuk pendaftaran MCC bersebelahan dengan tempat saya memilah-milah sepatu.

Dicounter itu ada dua orang staff Matahari, satu cowok dan satunya lagi cewek. Yang cowok sedang sibuk bertelepon ria, sedang yang cewek sedang mencatat sesuatu dalam notes.
Mbak, kalau mau register kartu MCC gimana caranya ya?” Saya bertanya. Dengan wajah yang kurang ramah (wajahnya tetap menunduk dan gak melihat ke saya) si mbak menjawab dengan suara yang kurang ramah pula ”Bayar 75 ribu.” Saya yang mendengar agak kaget, pertama karena info ttg pembayaran yg seingat saya dulu Free, kedua karena nada suara si mbak yang memang kurang bersahabat. Teman saya, Ulid lalu mengkonfirmasi ulang perkataan si mbak tadi, dengan bertanya ttg kartu MCC biasa. ”Ooo...belanjanya harus lebih dari 100 ribu baru bisa daftar!” kata si mbak Jutek ini. Saya yang mendengar jawaban itu langsung menuju kasir tuk membayar, sedang Ulid tetap didepan counter kartu MCC dan terdiam mengamati mbak jutek yang tetap sibuk sendiri dengan catatannya.
Selang lima menit kemudian saya kembali ke counter itu. Saya menyodorkan struk belanja sepatu yang sudah saya bayar ke si mbak jutek yg ada dibalik meja sambil berkata ”Mbak saya mo registrasi kartu MCC”. Dia mendongakkan kepala ke arah saya berkata ”pembelanjaannya harus di atas seratus ribu dulu baru bisa daftar”. ”Iya saya tahu, saya belanja lebih dari 100 ribu kok” Suara saya mulai agak sedikit tegas, karena sepertinya si mbak memandang saya gak mampu beli barang dari toko itu seharga 100 ribu keatas.

Saya mungkin bisa menebak apa alasan si mbak jutek ngomong gitu ke saya. Dibanding teman kantor saya Ulid, dandanan saya saat belanja itu emang biasa banget, celana jeans dipadu dengan jaket katun warna hitam yang biasa saya kenakan saat naik motor plus sendal kaki putih sebagai alas, bisa jadi membuat seseorang akan dipandang kurang mampu dari segi finansial jika dilihat sepintas saja. Yaah....mo gimana lagi, emang dandanan aya kalo lagi cuek emang kayak gitu, hehehe....

Kembali ke counter, si mbak jutek meminta KTP saya tuk validasi. Kebetulan saya lupa bawa KTP, jadi yang saya serahkan sebagai identitas adalah SIM. Saat kartu identitas sudah berpindah tangan, si mbak memandang saya secara seksama bergantian dengan foto manis saya yang ada diSIM. Mungkin sambil berpikir, apa benar ini orang yang sama, kok dandanan dalam foto dengan aslinya yang berdiri didepan saya ini beda ya?!. Dengan kening sedikit berkerut, dia menulis nama plus embel-embel keagamaan yg sebenarnya jarang sekali saya gunakan didepan nama. Setelah mengisi beberapa informasi dalam form, si mbak bertanya lagi, tapi kali ini suaranya mulai melunak. ”pendidikan terakhir”, saya jawab dengan suara lugas ”S2” sambil memperhatikan respon mbak Jutek. Si mbak yang rupanya tidak siap mendengarkan jawaban itu bertanya lagi ”Pekerjaan?”. ”Dosen”. Disambungnya lagi pertanyaannya ”Negeri?” sambil memajukan wajahnya beberapa senti ke arah saya. Saya yang sudah mengerti kemana arah pertanyaan si mbak yang sama sekali tidak menulis apapun didalam kertas sontak menjawab dengan nada tegas ”YA!UNHAS!” sambil menatap matanya langsung menandakan saya benar-benar serius dengan apa yang saya katakan. Mendengar jawaban saya yang terakhir, saya lihat roman muka staff wanita yang semula jutek ini otomatis langsung berubah manis, suaranyapun yang awalnya gak friendly banget tiba-tiba melunak, benar-benar berbeda, berubah 180 derajat. Teman saya Ulid, yang juga ternyata memperhatikan perubahan staff wanita itu, juga memvalidasi cerita ini pada saya setelah kami keluar dari toko tersebut. Saya hanya menagngguk-angguk tersenyum mendengarnya.

Bukan sekali dua kali perlakukan seperti ini terjadi karena penampilan saya yang gak ada sangat casual. ”Ners Aya gak ada mirip-miripnya dengan tipikal dosen, lebih mirip mahasiswa” begitu komentar beberapa mahasiswa yang pernah saya dengar. Pernah ada kejadian juga, tanpa memvalidasi siapa dan dalam rangka apa saya duduk disana, dua orang panitia sebuah seminar nasional keperawatan meminta (kasarnya siy.....NGUSIR) saya pindah dari kursi undangan & dosen karena mengira saya hanya mahasiswa biasa dan gak boleh duduk dijejeran kursi terpilih. Pada kesempatan itu juga saya tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan ke panelis dalam tiga sesi berturut-turut oleh si moderator (padahal saya sudah berdiri dan mengajukan tangan setinggi-tingginya.....mungkin karena saya gak pake blazer kali yeee.....), sampai akhirnya saya maju sendiri merebut mike lalu membuka identitas bahwa saya adalah salah satu pengajar di universitas negeri dikota ini, barulah moderatornya diam bungkam seribu bahasa. Kadangkala saya kesal diperlakukan diskriminatif sprt itu, namun dibalik itu saya senang, karena saya bisa lihat yang mana orang-orang yang benar-benar tulus membantu atau ingin berteman dengan saya tanpa ada tendensi tertentu dibaliknya.

Saya sering bertanya-tanya kenapa sih masih banyak orang di negeri yang katanya adab sopan santunnya masih tinggi, ternyata masih menilai orang dari penampilan fisik dan atribut sosial semata. Ada kecenderungan fenomena sosial dalam masyarakat kita, pendidikan dan jabatan berbanding lurus dengan harga diri seseorang. Semakin tinggi status sosialnya, maka semakin bergeser pula nilai-nilai tawdhu yang ada dalam dirinya. Yang dulunya ramah pada siapa saja, kini berubah menjadi jaim (jaga image). Apalah gunanya dandan keren, mentereng, bertitel, jabatan tinggi dll kalo attitude serta aptitudenya minus?!
Saya pribadi dari dulu selalu berprinsip, walaupun pendidikan atau jabatan yang diamanhkan pada kita setinggi langit, gak mesti sikap atau karakter kita juga ikut-ikut melambung. Itu kan semacam ”ujian spesial” yang diberikan Allah kepada kita untuk melihat sejauh mana kita bisa memanage amanah tersebut untuk membantu meringankan beban orang lain, bukannya malah menekan orang lain atau meminta untuk diperlakukan istimewa seperti yang dilakukan beberapa pejabat yang gak tahu malu yang katanya membela nasib rakyat digedung DPR/MPR sana. Lha...kok ceritanya dah nyampe disana yak? Aaarghh....EGP sama beberapa bapak2 gak bermoral disana!!!! yang penting, inti dari apa yang pengen saya share kali ini. Setinggi apapun status yang melekat dalam diri kita, tetaplah jadi diri kita sendiri, tetap humble, tetap down to earth bak bulir padi, semakin berisi maka semakin merunduklah ia.

-I dedicate this to a great & humble person who i adore thoroughly; a dean of medical faculty-




9 komentar:

  1. huaaaa, aku juga sebal, miss aya, dengan orang yang melihat orang lain dari bungkus. secara aku juga bertampang -ehm- agak lebih muda dari umur karena aku berbadan kecil dan suka pake dandanan santai (t-shirt dan jins) plus tas sporty, suka ditatap secara menyebalkan di toko buku tertentu yang sok high-class, di mall tertentu yang jualannya barang bermerk (tapi kebetulan punya counter J-Co hihihi) ataupun di salon. huh! kultur orang Indonesia memang begitu :(

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. haha, lucu ya'...coba lo kerumah gw, pake kolorpun pasti kusambut dengan senyum cieeee....
    bodo amat orang mau ngeliat kita kayak apa, yang penting kita bisa bawa manfaat kekkekek...

    BalasHapus
  4. Dalam keseharian kita sering mengalami kejadian spt ini, dmn people under estimate to us. Dan mnrtku kita seharusnya menikmatinya. Kadang lebih free & enjoy rasanya jika dalam kerumunan orang2 tidak mengenal siapa diri kita yg sebenarnya drpd kita 'memaksa' mrk kenal kita lewat penampilan. Sometimes, it's better to be no one..

    BalasHapus
  5. Ha ha. Dasar Aya.
    Btw, saya lagi belajar untuk merunduk, Ya.
    Belajar untuk lebih mendengarkan, siapapun yang berbicara.
    Mudah-mudahan dengan demikian, pada saat masyarakat sudah berubah, saya sudah siap dari sekarang...

    BalasHapus
  6. Aya 2 Mave:
    Hehehe, ternyata aya ada teman niy, asiiik berarti aya ndak dikacangin sendiri^_^

    BalasHapus
  7. Aya 2 Noah:
    Lo bener nop, sayangnya gak semua orang punya pendapat yang sama kayak gitu. Masih banyak yang menilai kita hanya dari bungkus doang, gak ngelihat what inside, gubraks...(lha....mang aku ngomong apaan barusan yak?!)

    BalasHapus
  8. Aya 2 Zinda Rud:
    Perlu kanda tau, my intention to write this argument bukan karena ingin dianggap. Nope....
    Apa yg ingin saya sampaikan adalah, please people jangan pernah menilai org hanya dari kemasan luar doang. Saya amati, ini paling sering terjadi diIndo, berbeda ketika saya dulu diOz, people didnt care about what I was wearing outside but what I have within.

    BalasHapus
  9. Aya 2 Sqvalkic:
    Halo mas anton, hahaha....lama gak telpon-telponan lagi, hayooo...mana nomer simpatinya?
    Belajar merunduk? Lha, ngapain lagi? perasaan dari dulu mas anton udah down to earth naturally kok.
    You are a great person with huge talents, if you want to know my judgment upon you^_^

    BalasHapus