Selasa, November 28, 2006

I Cried for my brother six times

(My beloved younger Sisters, Ika & Ria on Ria's wedding, 23/03/06)

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil.
Sehari-hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menjadi gosong karena setiap hari menghadap ke langit.

Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah mainan yang mana semua orang disekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya.

"Siapa yang mencuri uang limapuluh sen itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapapun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak untuk dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi.

Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas. Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi,"Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? ... Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuritidak tahu malu!

"Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnyapenuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi.

"Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin terjadi. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untukmasuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, aku juga diterima untuk masuk kesebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Aku mendengarnya memberengut,"Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik...hasil yang begitu baik..."Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata,"Ayah, aku tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunya jiwa yang begitu keparat dan lemahnya? Bahkan jika berarti aku mesti mengemis dijalanan aku akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata,"Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskanuntuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Aku akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang."Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan airmata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas). Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! "Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu aku adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?"Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimanapun penampilanmu..."Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah dasi. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Aku melihat semua pria kota memakainya. Jadi aku pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20, aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku sepertianak kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah ulah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.."Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit salep pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika aku bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan mengenai kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan..."Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhkumemunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali istriku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidakpernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Aku akan menjaga ibu dan ayah di sini. "Istriku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku diatas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketikaia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Istriku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, aku menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar--ia baru saja jadi direktur, dan aku hampir tidak berpendidikan. Jika aku menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan tersebar? "Mata istriku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!". "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun kami. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya,"Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab,"Kakakku."Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuahkisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika aku pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakak dan aku harus berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, aku kehilangan satu dari sarung tangaku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang sangat dingin sampai ia tidak dapat menyuap nasi kemulutnya. Sejak hari itu, aku bersumpah, selama aku masih hidup, aku akan membalas semua kebaikannya yang tak terkira sampai ajal jugalah yang menghentikan nafasku.

Kini giliranku ditanya oleh pembawa acara, siapakah orang yang paling kucintai dan kukasihi. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku,"Dalam hidupku, orang yang paling aku cintai adalah adikku."Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran tak henti-henti turun dari wajahku seperti sungai yang tak mampu dibendung.
Author : Unknown

2 komentar:

  1. hmmm.. cerita yang menyentuh. Ini kisah nyata kah? Mengingatkan saya pada adik di rumah.

    BalasHapus
  2. Cerita ini dikirim oleh seorang teman dri Brisbane sono, gak tau pasti apa true story ataukah cuma fiksi. Aya postingin karena lagi kangen ma adik yang ada di Indonesia, hiks....

    BalasHapus