Jumat, Desember 08, 2006

Inikah pahlawan tanpa tanda jasa itu?

Dunia pendidikan kembali tercoreng oleh ulah dua orang guru yang menganiaya muridnya dan mengakibatkan salah satu dari murid tersebut meninggal dunia.

Kasus pertama terjadi di Makassar (What.....?!). Seorang guru Penjaskes di salah satu SMUN Sungguminasa melempari muridnya dengan batu bata tepat dikepalanya. Alasannya sepele, sang guru marah karena almarhum Nur Ikbal Caraka (korban) menendang bola voli pada saat dirinya tengah memberi ujian bola basket pada murid yang lain, padahal seharusnya saat itu korban beristirahat menunggu giliran untuk ujian. Rupanya batu yang dimaksudkan hanya sekedar untuk mengingatkan murid-murid tersebut terlanjur dilempar dan tepat mengenai kepala Ikbal, kontan saja darah mengucur deras dari kepalanya dan Ikbal harus mendapat bebrapa jahitan di bagian yg terkena lemparan tersebut. Sempat dirawat sebentar di RS namun selang beberapa hari kemudian Ikbal menghembuskan nafas terakhir setelah sempat muntah2 hebat dan mengalami penurunan kesadaran yang drastis (Penigkatan Tekanan Intra Kranial, I guess!). Guru yang melakukan pelemparan tersebut kini meringkuk di tahanan dan terancam hukuman penjara 7 tahun dengan kasus penganiayaan dan kelalaian yang mengakibatkan kematian. What a shame!!

Kasus Kedua, terjadi diPalembang. Seorang murid SD sebut saja Fina, dianiaya oleh gurunya gara-gara tidak mengerjakan PR. Sebenarnya bukan hanya Fina saja yang terkena hukuman ini, beberapa murid teman sekelas Fina yang tidak mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru tsb juga mendapat hukuman yang sama yaitu dicubit dibagian pangkal paha kiri dan kanan hingga lebam kebiruan. Namun peristiwa itu berulang lagi minggu berikutnya, kembali Fina dihukum dengan alasan yg sama, tetapi kali ini cubitannya berpindah ke lengan dan mengakibatkan kedua lengan fani menjadi lebam dan nyeri saat disentuh. Oleh orangtuanya, fani diperiksakan ke dokter, dan disarankan untuk beristirahat beberapa hari di rumah. Saat orangtua Fina mengkomfirmasi tentang hukuman yang diterima anaknya, pihak sekolah (dalam hal ini Kepala Sekolah dan guru bersagkutan) malah mengatakan bahwa Fani malas dan jika orangtua Fani keberatan dengan hukuman seperti itu mereka lebih baik memindahkan anaknya ke sekolah lain. Fani sendiri saat ditanyai, mengatakan dia sangat takut kembali ke sekolah, dan lebih memilih pindah ke sekolah lain daripada harus bertemu dengan guru yang menganiayanya.

Kalau melihat dua kondisi diatas, kita lantas bertanya-tanya sebenarnya apa yang mau diajarkan oleh guru sekarang ini disekolah pada murid-muridnya. Terkadang mereka ingin menerapkan disiplin bagi muridnya, tapi tidak pernah mengkomunikasikan maksud dari mendisiplinkan itu untuk tujuan apa. Dan parahnya lagi, jika sang murid terlanjur melakukan kesalahan kecil, maka kemarahan sang guru (yang sebenarnya adalah akumulasi dari kemarahan pribadi) ditumpahkan kepada murid yang tidak berdosa ini. Akibatnya, muncullah hukuman yang membabibuta dan kadang sudah tidak menggunakan logika sebagai tenaga pendidik sama sekali!!!
Dan satu hal, guru2 ini sering mengabaikan bahwa sebenarnya dengan menghukum muridnya, bukan hanya fisik murid2 ini saja yang menderita lebih dari itu psikis dari mereka juga bisa terganggu. Luka fisik bisa sembuh dalam waktu beberapa minggu, namun luka psikis butuh waktu bertahun-tahun, bahkan bisa tidak hilang sama sekali dan menjadi pengalaman traumatis seumur hidup bagi murid tersebut.

Aku punya pengalaman yang kalo boleh dibilang sempat menjadi traumatis dan membuatku phobia (rasa takut abnormal pada objek tertentu). Sampai masa kuliah dulu aku paling takut melihat tongkat kayu/rotan, mengapa? Saat aku masih duduk diSMU kelas 2, di Papua dalam rangka menyambut hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh tgl. 17 Agustus, diadakan Karnaval antar sekolah-sekolah sekabupaten. Pada perayaan 17-an ini setiap murid diharuskan mengikuti pawai sambil mengenakan pakaian/kostum daerah, pahlawan, polisi, wartawan, dll. Saat itu aku ingin sekali mengenakan kostum wartawan supaya bisa bebas memfoto teman2 pada saat pawai berlangsung. Namun rupanya peminat wartawan cukup banyak dan akhirnya jumlahnya dibatasi, dan yang tersisa saat itu hanya kostum RA kartini dan Pakaian adat. Bersama beberapa teman yang belum mendaftar, aku menghadap guru Penjaskes (Again!!!!!) yang menjadi Koordinator Pawai 17 Agustusan di sekolahku untuk meminta pertimbangan agar aku bisa ditambahkan di group wartawan. Sempat terjadi adu argumen, karena aku keberatan ditunjuk untuk mengenakan pakaian RA Kartini, sedang temanku yg lain nurut saja karena takut pada "keseraman" guru penjaskes ini. Keputusan terakhir aku menolak untuk mengenakan pakaian RA Kartini dan memilih untuk tidak ikut pawai tersebut. Karena marah perintahnya ditentang olehku, aku dibentak dan didorong keluar dari ruangan guru tersebut, dan disaksikan oleh ratusan murid-murid yg berkumpul dilapangan depan ruangan itu, aku dipukul berkali-kali dengan tongkat kayu panjang dibagian belakang. Saat dipukul itu aku tidak menangis walaupun rasa sakit akibat pukulan rotan mendera-dera dibagian belakangku. Yang lantas membuat aku sakit hati, adalah karena rasa malu dipukul dengan rotan didepan teman-teman kelas, junior bahkan senior yang sehari-harinya berinteraksi denganku.

Peristiwa itu tidak pernah kuceritakan pada orangtuaku karena aku tahu mereka pasti tidak akan terima anaknya diperlakukan seperti itu. Trauma itu aku bawa sampai ke universitas tanpa berani menceritakan kepada siapa2, bahkan tetangga yang menjadi teman sekolahku sempat kuancam untuk tidak bercerita kepada siapapuntermasuk kepada orangtua mereka. Trauma itu sempat menyebabkan prestasiku disekolah menurun drastis terutama mata pelajaran penjaskes, aku menjadi mudah melamun, sering mimpi buruk, gampang sakit-sakitan (dan akhirnya punya alasan untuk tidak ke sekolah), dan jadi tidak pede bergaul dengan teman-teman sekolah bahkan jadi tidak aktif lagi di OSIS. Orangtuaku sempat heran dengan perubahan drastis yang terjadi pada diriku tapi aku selalu meyakinkan mereka bhwa tidak terjadi apa-apa. Selang beberapa bulan kemudian aku minta pindah ke SMU lain yang ada dipulau Sulawesi karena alasan tertentu.
Lingkungan di sekolah baru membuatku sedikit merasa aman meski tetap perasaan gelisah dan takut berlebihan muncul saat melihat guru yang memegang tongkat kayu atau rotan didepan mata. Aku bahkan pernah loncat keluar melalui jendela kelas, saat melihat guruku masuk ke dalam kelas sambil membawa mistar kayu pada saat jam pelajaran matematika. Duh...jadi malu rasanya kalau ingat pengalaman itu.....

Untunglah, semenjak kuliah di S1 Keperawatan UNHAS aku belajar tentang ilmu Psikologi juga Psikiatri, dari situ aku belajar bagaimana agar bisa beradaptasi dan mengontrol phobia pada objek yang kutakuti itu. Aku bersyukur karena sedikit demi sedikit bisa mengendalikan rasa takutku, tapi bagaimana nasib banyak anak-anak di luar sana yang tengah bergelut dengan trauma masa kecil yang tidak mendapat pertolongan sama sekali? Apakah mereka bisa hidup dengan tenang dan melanjutkan perkembangan seperti anak-anak pada umumnya? Well...hanya mereka sendiri dan Allah yang tau jawabannya.

2 komentar: