Tadi malam saya baru balik dari liburan tahun baruan diLondon. Masih rada-rada ngantuk dan lelah gitu akibat perjalanan darat yang seingat saya lebih banyakan jalan kakinya selama lima hari disana. Entah berapa puluh kilometer kami jalan mengitari kota London, rasa-rasanya sampai keriting betis ini, hehehe
Anyway, bukan tentang petualangan diLondon atau kemeriahan malam tahun baru 2012 disekitar River Thames yg mau saya share kali ini, melainkan kegundahan saya tentang suatu topik yang lagi hangat-hangatnya mejadi perbincangan disebuah milis yang berisi kumpulan orang-orang cerdas Indonesia yang sedang kuliah S2, S3 dan WNI yang menetap permanen di Inggris Raya ini.
Dari judul saya yakin ada diantara Anda yng sudah bisa menebak, apa yg menjadi "hot topic" sumber kegundahan saya saat ini. Yup, si kembar brain wash dan
brain drain yang kata Mbak Wiki dihalaman rumahnya adalaht:
- BrainWash: sebuah pergeseran pola pikir yang terjadi pada individu atau kelompok yang merubah nilai dan kepercayaan, persepsi dan penilaian karena dilatar belakangi oleh alasan politik, finansial, pribadi ataukah agama.
- BrainDrain atau Human Capital Flight: hijrah atau berpindahnya sejumlah orang dalam skala kecil maupun besar ke wilayah atau negara lain, dimana notabene orang-orang ini adalah mereka yang memiliki kepakaran atau skill yang mumpuni dibidang-bidang ilmunya masing-masing, atau orang-orang pintar dan intelek karena sudah mengenyam bangku pendidikan formal disuatu perguruan tinggi diluar daerah atau negaranya. Alasan mereke berpindah paling jamak karena disebabkan oleh dua hal, alasan dari negara (negara berkembang vs negara maju) dan juga karena alasan pribadi (karir, pendidikan anak, keluarga, kesejahteraan).
Jujur saya tidak menafikan bahwa saya pribadi sebagai salah satu orang yang pernah merasakan nikmatnya tinggal cukup lama dinegeri maju juga pernah terfikir, "Keknya lebih enak deh tinggal dan berkeluarga di Australia", atau membandingkan "Coba ya seandainya sistem transportasi Indonesia juga seperti UK". Dan saya yakin hampir setiap orang yang pernah menginjakkan kaki dinegara-negara maju pun sekali dua kali pernah berfikir seperti ini. Hehehe, ayo jujur jujur.....**nodong**
Wajar sekali jika ada terbersit pemikiran seperti itu. Gimana nggak, dinegara maju ini semua terstruktur, sistematis dan nyaman. Lingkungan sekolah dan kampus menyenangkan, fasilitas modern dan lengkap, internet super duper kencang, layanan kesehatan dan sekolah gratis, kebebasan berekspresi dihargai, korupsi minim, gaji tinggi, lingkungan aman dgn CCTV 24 jam, transport cepat dan on time, anak kecil udah jago bahasa asing, dan masih banyak lagi keuntungan lain yang bisa bikin orang-orang dari negara berkembang ngiler dan enggan untuk balik kenegara asalnya. Karena menurut mereka bakal gak berkembang dan gak ada harapan untuk masa depan mereka dan anak-anaknya.
Namun terus terang yang membuat saya sedih dan prihatin (nah loh, kok jadi ikut-ikutan dengan istilah Kabinet Pak Beye yah?!) adalah komentar dari beberapa orang dimilis yang berusaha mencari pembenaran A to Z bahwa mereka memilih tinggal diLN karena diIndonesia intelektualitas keilmuan mereka kurang dihargai, fasilitas penelitian terbatas, dana riset gak tersedia, pemerintah gak peduli, biaya sekolah dan ongkos berobat mahal, anak-anak mereka sudah terbiasa dengan lingkungan diluar takutnya nanti jadi tidak bisa beradaptasi dengan Indonesia, tapi mereka percaya akan selalu tetap menunjukkan nasionalisme dan kecintaanya terhdap Indonesia dengan cara berkarya dari luar demi kemaslahatan bangsa Indonesia juga. Sekali lagi silahkan saja, yang penting kata-kata itu tidak hanya sekedar jargon belaka sebagai pembenaran setiap kali ditanya, mohon dibuktikan ya Pak, Bu!!
Saya sendiri termasuk golongan orang yang lebih senang balik mengabdi ke Indonesia dan malah merasa akan tertantang dengan adanya keterbatasan dilingkungan dimana saya saya bekerja. Keterbatasan malah mendorong saya untuk melakukan apapun yang bisa saya berikan sepanjang masih punya akal untuk berpikir, hati untuk merasakan penderitaan orang lain, badan yang sehat, ilmu dan pengetahuan serta rejeki berapapun yang Allah SWT berikan. Naif dan sok idealis kedengaran memang, but that's me though, it runs through my veins. I cant help it! hehehe.
Saya pernah menghadapi masa-masa sulit sepulang sekolah dari LN, mencoba melakukan perbaikan ditempat kerja saya disebuah Universitas yang diberitakan mahasiswanya paling sering tawuran se-Indonesia (hiks hiks hiks...kerjaan media nih!). Tantangan menjadi dosen junior yang belum jadi apa-apa, mahasiswa ratusan, jumlah kelas terbatas, fasilitas belajar mengajar sangat amat minim, internet ngos-ngosan, dana pendidikan kurang, metode belajar monoton, dan jumlah pengajar gak sebanding dengan rasio ideal yang ditetapkan Dirjen DIKTI.
Berat? pasti!
Menguras energi dan emosi? Oow....tentu saja!
Menghabiskan anggaran pribadi demi pembelajaran interaktif, hiks....jangan di tanya!
Penolakan karena mengajak berubah, hohohoho........makanan sehari hari itu!
Tapi apa itu lantas membuat saya menyerah dan putus asa? Nope!
Diawal-awal sempat terpikir untuk mundur dan jadi dosen biasa-biasa saja tanpa pikiran idealis dan muluk-muluk. Tapi saya kemudian bertanya pada diri saya semudah itukah saya menyerah? hanya itu sajakah yang bisa saya lakukan untuk institusi dan mahasiswa saya? Pemikiran positif membawa saya pada tahap evaluasi, bahwa ternyata strategi pendekatan saya kepihak-pihak yang bisa membantu yang kurang tepat, saya tidak bisa bekerja sendiri untuk memodifikasi sebuah sistem yang sudah mengakar kuat dicivitas akademik lingkungan saya. Ilmunya sudah bagus, niat dan tujuannya juga jelas, namun butuh adaptasi dan dukungan dari lingkungan sekitar dan tentunya metode yang lebih menyentuh akar budaya mahasiswa Timur. Oleh karena itu, saya mundur pelan-pelan sambil mengatur strategi serta mencari orang-orang yang memiliki visi yang sama.
Alhamdulillah, untuk apapun yang niatnya baik, Insya allah pertolongan Allah SWT akan selalu hadir. Hasilnya memang tidak langsung drastis terlihat secara kasat mata oleh teman-teman sejawat, tapi kebanggaan terbesar saya muncul saat mendapat apresiasi dari para mahasiswa yang menjalani proses perubahan tersebut yang merasa mendapat wawasan baru dari metode belajar yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Selain itu pimpinan juga memberi kepercayaa penuh dalam pengelolaan mata kuliah yang sebelumnya bagi mahasiswa merupakan mata kuliah yang "sangat amat tidak manarik" menjadi mata kuliah favorite dalam setiap evaluasi akhir semester. Ah, rasanya hari hari frustasi dan malam-malam penuh tangis dan doa jadi terbayar manis dengan pengakuan-pengakuan tersebut.
Keterbatasan akan memacu seseorang menjadi lebih kreatif dan dinamis jika melihat itu sebagai tantangan, bukan sebaliknya sebagai masalah. Bagi yang Anda yang beruntung pernah tinggal LN dan melihat praktek yang ideal dinegara tsb, pasti dong terbersit harapan suatu hari nanti Indonesia bisa seperti itu. Ilmu yang kita dapat saat ini harus juga bisa bermanfaat bagi masyarakat Indonesia agar mereka kelak bisa juga merasakan apa yang kita rasakan saat ini disini.
Frustasi karena lingkungan menolak perubahan adalah normal dan merupakan bagian dari perjuangan sebagai change agent. Tapi jangan karena kefrustasian itu lantas membuat Anda malah jadi pura-pura bodoh dan parahnya memilih kabur dari negara sendiri. Lantas mencari kambing hitam dengan menyalahkan politik Indonesialah, pemerintah koruplah, gaji kuranglah pimpinan tidak suportiflah, fasilitas kuno dan minim, gak bisa penelitianlah, dan masih banyak lah lah lainnya. Sejelek-jeleknya, sekorup-korupnya dan semiskin-miskinnya negara kita, Indonesia tetap kampung halaman dan ladang amal bagi kita untuk berbakti sebagai orang Indonesia!! C'mon, kreatif dikit laaah....., jangan hanya jadi orang Indonesia yang kerjanya mengeluh dan menuntut apa saja yang negara bisa berikan kepada kita sebagai imbalannya.
Saya pernah menghadapi masa-masa sulit sepulang sekolah dari LN, mencoba melakukan perbaikan ditempat kerja saya disebuah Universitas yang diberitakan mahasiswanya paling sering tawuran se-Indonesia (hiks hiks hiks...kerjaan media nih!). Tantangan menjadi dosen junior yang belum jadi apa-apa, mahasiswa ratusan, jumlah kelas terbatas, fasilitas belajar mengajar sangat amat minim, internet ngos-ngosan, dana pendidikan kurang, metode belajar monoton, dan jumlah pengajar gak sebanding dengan rasio ideal yang ditetapkan Dirjen DIKTI.
Berat? pasti!
Menguras energi dan emosi? Oow....tentu saja!
Menghabiskan anggaran pribadi demi pembelajaran interaktif, hiks....jangan di tanya!
Penolakan karena mengajak berubah, hohohoho........makanan sehari hari itu!
Tapi apa itu lantas membuat saya menyerah dan putus asa? Nope!
Diawal-awal sempat terpikir untuk mundur dan jadi dosen biasa-biasa saja tanpa pikiran idealis dan muluk-muluk. Tapi saya kemudian bertanya pada diri saya semudah itukah saya menyerah? hanya itu sajakah yang bisa saya lakukan untuk institusi dan mahasiswa saya? Pemikiran positif membawa saya pada tahap evaluasi, bahwa ternyata strategi pendekatan saya kepihak-pihak yang bisa membantu yang kurang tepat, saya tidak bisa bekerja sendiri untuk memodifikasi sebuah sistem yang sudah mengakar kuat dicivitas akademik lingkungan saya. Ilmunya sudah bagus, niat dan tujuannya juga jelas, namun butuh adaptasi dan dukungan dari lingkungan sekitar dan tentunya metode yang lebih menyentuh akar budaya mahasiswa Timur. Oleh karena itu, saya mundur pelan-pelan sambil mengatur strategi serta mencari orang-orang yang memiliki visi yang sama.
Alhamdulillah, untuk apapun yang niatnya baik, Insya allah pertolongan Allah SWT akan selalu hadir. Hasilnya memang tidak langsung drastis terlihat secara kasat mata oleh teman-teman sejawat, tapi kebanggaan terbesar saya muncul saat mendapat apresiasi dari para mahasiswa yang menjalani proses perubahan tersebut yang merasa mendapat wawasan baru dari metode belajar yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Selain itu pimpinan juga memberi kepercayaa penuh dalam pengelolaan mata kuliah yang sebelumnya bagi mahasiswa merupakan mata kuliah yang "sangat amat tidak manarik" menjadi mata kuliah favorite dalam setiap evaluasi akhir semester. Ah, rasanya hari hari frustasi dan malam-malam penuh tangis dan doa jadi terbayar manis dengan pengakuan-pengakuan tersebut.
Keterbatasan akan memacu seseorang menjadi lebih kreatif dan dinamis jika melihat itu sebagai tantangan, bukan sebaliknya sebagai masalah. Bagi yang Anda yang beruntung pernah tinggal LN dan melihat praktek yang ideal dinegara tsb, pasti dong terbersit harapan suatu hari nanti Indonesia bisa seperti itu. Ilmu yang kita dapat saat ini harus juga bisa bermanfaat bagi masyarakat Indonesia agar mereka kelak bisa juga merasakan apa yang kita rasakan saat ini disini.
Frustasi karena lingkungan menolak perubahan adalah normal dan merupakan bagian dari perjuangan sebagai change agent. Tapi jangan karena kefrustasian itu lantas membuat Anda malah jadi pura-pura bodoh dan parahnya memilih kabur dari negara sendiri. Lantas mencari kambing hitam dengan menyalahkan politik Indonesialah, pemerintah koruplah, gaji kuranglah pimpinan tidak suportiflah, fasilitas kuno dan minim, gak bisa penelitianlah, dan masih banyak lah lah lainnya. Sejelek-jeleknya, sekorup-korupnya dan semiskin-miskinnya negara kita, Indonesia tetap kampung halaman dan ladang amal bagi kita untuk berbakti sebagai orang Indonesia!! C'mon, kreatif dikit laaah....., jangan hanya jadi orang Indonesia yang kerjanya mengeluh dan menuntut apa saja yang negara bisa berikan kepada kita sebagai imbalannya.
Mungkin bagi para pengusaha Indonesia diLN, bisa membantu pengusaha-pengusaha muda Indonesia memperkenalkan produk-produk lokal dan usaha kecil dalam negeri dengan cara ekspansi ke pasar Internasional atauah merangkul investor asing berinvestasi diproduk-produk dalam negeri. Ataukah peneliti-peneliti Indonesia diLN bisa membantu peneliti-peneliti Indonesia dalam mencari sponsor untuk melakukan penelitian dalam negeri, mencari solusi riil bagi permasalahan diberbagai aspek kehidupan Indonesia saat ini (pendidikan, kesehatan, transport sistem, perekonomian, hukum dll).
Hummph...tapi susah Ya', itu skalanya gede, belum sampe level situ! **tangkisan sceptical tought**
Oke, jika langkah itu terlalu luas dan sulit untuk dicapai, kita cari yang lebih simpel aja deh.
Karena basic saya dari pendidikan dan keperawatan, mungkin saya lebih tertarik menggalang solidaritas mengetuk hati mahasiswa Indonesia dan WNI disini jika terjadi bencana alam ditanah air, mengumpulkan sumbangan pound demi pound untuk bisa dibelikan barang-barang kebutuhan korban bencana alam dan disalurkan melalui lembaga-lembaga terpercaya diIndonesia. Uang ini juga bisa disumbangkan kepada yayasan sosial atau NGO yang concern dengan kesejahteraan anak, orang dengan keterbatasan fisik dan mental, pasien miskin dengan penyakit kronik, masyarakat kecil yang tertindas, atau mungkin para lansia dipanti Wredha yang telah ditelantarkan dihari tuanya oleh keluarganya sendiri.
Cara lainnya lagi yang paling saya suka adalah mengumpulkan buku-buku bekas yg bisa diperoleh dengan harga yang sangat murah di Charity shops atau Book Fair. Buku ini bisa disumbangkan ke NGO atau komunitas penggiat baca bagi anak-anak yang kurang mampu mencicipi pendidikan formal dibangku sekolah. Kepedulian kita terhadap masa depan anak-anak Indonsia masih tetap dibutuhkan meski pemerintah Indonesia sudah mengumumkan bahwa bahwa 2012 ini pendidikan dasar 9 tahun sudah tuntas 100%. Hmmm....itu hitungan diatas kertas sih, yang ada dilapangan bisa lain lagi.
Harapannya bahwa anak-anak ini nantinya pun punya kesempatan untuk mengenal dunia luar dengan membaca. Dengan wawasan dan ilmu yang bertambah, anak-anak ini nantinya bisa membantu diri dan keluarganya keluar dari jurang kemiskinan dan kebodohan. Kita juga tidak akan pernah tau jika ternyata satu diantara buku bekas yng kita sumbangkan tersebut ternyata memberi inspirasi bagi seorang anak dari pedalaman nun jauh diPapua sana untuk bercita-cita melanglang buana menuntut ilmu ke negara lain. Hanya gara-gara sebuah buku bekas yang dibacanya lho!
Ini pengalaman pribadi saya, saat saya masih duduk dibangku kelas 3 SD. Atas kebaikan hati seseorang yang suka membaca, saya diperbolehkan meminjam buku cerita anak karya penulis Denmark, Hans Cristian Andersen yang sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia. Buku itu berisi koleksi cerita dari seluruh dunia khas Andersen, yang didalamya berisi pesan-pesan moral untuk selalu menolong dan berpikir postif dalam berbagai situasi yang tidak menguntungkan. Saya dulu suka sekali membaca, apapun yang ada tulisannya saya baca, buku pelajaran, kertas iklan, pembungkus nasi kuning, sampai-sampai koran yg diterbangkan angin pun pasti tidak luput dari saya. Tapi lucuya saya gak punya banyak buku selain buku pelajaran, apalagi buku tentang dunia. Walaupun orangtua saya mampu untuk itu, kondisi dan lingkungan saya berada tidak terlalu mendukung. Akses informasi dan transportasi kekota saya Fakfak, sebuah kota kecil diPapua Barat tahun 80-an membuatnya menjadi sulit bagi saya sebagai anak untuk meminta orangtua membelikan buku cerita bergambar atau ensiklopedia tipis tentang dunia. Satu-satunya transportasi untuk masuk dan keluar dari kota saya adalah dengan berlayar menggunakan kapal Pelni selama 4-7 hari, 2 x sebulan. Nah, saat dipinjamkan buku itu HC Andersen itu, imajinasi saya akhirnya mengembara kemana-mana. Buku itu menjawab kehausan dan rasa penasaran saya akan pengetahuan dan akhirnya berani bermimpi untuk melihat dunia diluar sana, dimana ada salju dan bunga tulip warna-warni bermekaran.
Jadi, jika ada ajakan untuk menyumbangkan buku oleh rekan-rekan NGO bagi anak-anak dipedalaman atau anak tidak mampu, saya tidak akan pernah ragu untuk untuk ikut andil berbagi.
Karena basic saya dari pendidikan dan keperawatan, mungkin saya lebih tertarik menggalang solidaritas mengetuk hati mahasiswa Indonesia dan WNI disini jika terjadi bencana alam ditanah air, mengumpulkan sumbangan pound demi pound untuk bisa dibelikan barang-barang kebutuhan korban bencana alam dan disalurkan melalui lembaga-lembaga terpercaya diIndonesia. Uang ini juga bisa disumbangkan kepada yayasan sosial atau NGO yang concern dengan kesejahteraan anak, orang dengan keterbatasan fisik dan mental, pasien miskin dengan penyakit kronik, masyarakat kecil yang tertindas, atau mungkin para lansia dipanti Wredha yang telah ditelantarkan dihari tuanya oleh keluarganya sendiri.
Cara lainnya lagi yang paling saya suka adalah mengumpulkan buku-buku bekas yg bisa diperoleh dengan harga yang sangat murah di Charity shops atau Book Fair. Buku ini bisa disumbangkan ke NGO atau komunitas penggiat baca bagi anak-anak yang kurang mampu mencicipi pendidikan formal dibangku sekolah. Kepedulian kita terhadap masa depan anak-anak Indonsia masih tetap dibutuhkan meski pemerintah Indonesia sudah mengumumkan bahwa bahwa 2012 ini pendidikan dasar 9 tahun sudah tuntas 100%. Hmmm....itu hitungan diatas kertas sih, yang ada dilapangan bisa lain lagi.
Harapannya bahwa anak-anak ini nantinya pun punya kesempatan untuk mengenal dunia luar dengan membaca. Dengan wawasan dan ilmu yang bertambah, anak-anak ini nantinya bisa membantu diri dan keluarganya keluar dari jurang kemiskinan dan kebodohan. Kita juga tidak akan pernah tau jika ternyata satu diantara buku bekas yng kita sumbangkan tersebut ternyata memberi inspirasi bagi seorang anak dari pedalaman nun jauh diPapua sana untuk bercita-cita melanglang buana menuntut ilmu ke negara lain. Hanya gara-gara sebuah buku bekas yang dibacanya lho!
Ini pengalaman pribadi saya, saat saya masih duduk dibangku kelas 3 SD. Atas kebaikan hati seseorang yang suka membaca, saya diperbolehkan meminjam buku cerita anak karya penulis Denmark, Hans Cristian Andersen yang sudah diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia. Buku itu berisi koleksi cerita dari seluruh dunia khas Andersen, yang didalamya berisi pesan-pesan moral untuk selalu menolong dan berpikir postif dalam berbagai situasi yang tidak menguntungkan. Saya dulu suka sekali membaca, apapun yang ada tulisannya saya baca, buku pelajaran, kertas iklan, pembungkus nasi kuning, sampai-sampai koran yg diterbangkan angin pun pasti tidak luput dari saya. Tapi lucuya saya gak punya banyak buku selain buku pelajaran, apalagi buku tentang dunia. Walaupun orangtua saya mampu untuk itu, kondisi dan lingkungan saya berada tidak terlalu mendukung. Akses informasi dan transportasi kekota saya Fakfak, sebuah kota kecil diPapua Barat tahun 80-an membuatnya menjadi sulit bagi saya sebagai anak untuk meminta orangtua membelikan buku cerita bergambar atau ensiklopedia tipis tentang dunia. Satu-satunya transportasi untuk masuk dan keluar dari kota saya adalah dengan berlayar menggunakan kapal Pelni selama 4-7 hari, 2 x sebulan. Nah, saat dipinjamkan buku itu HC Andersen itu, imajinasi saya akhirnya mengembara kemana-mana. Buku itu menjawab kehausan dan rasa penasaran saya akan pengetahuan dan akhirnya berani bermimpi untuk melihat dunia diluar sana, dimana ada salju dan bunga tulip warna-warni bermekaran.
Jadi, jika ada ajakan untuk menyumbangkan buku oleh rekan-rekan NGO bagi anak-anak dipedalaman atau anak tidak mampu, saya tidak akan pernah ragu untuk untuk ikut andil berbagi.
Selain itu bagi yang punya bakat menginspirasi orang lain dan ngumpulin massa didunia nyata maupun dunia maya, menjadi inisiator untuk gerakan untuk gerakan membangun dan mencerdaskan bangsa bisa jadi pilihan. Udah banyak kok contohnya, ada gerakan Indonesia Mengajar yang dipelopori oleh Pak Anies Baswedan bagi kemajuan anak-anak dipedalaman, Sekolah Master (MASjid TERminal) bagi anak-anak jalanan yang dipelopori Pak Nurochim di kawasan Terminal Depok, ITS goes to School, Save Street Child Surabaya, Gerakan Mahasiswa Mengajar, Gerakan Nasional Bikin Pintar Anak Pesisir Indonesia (GNBPAPI), atau siapa tau ada yang tertarik untuk join diKomunitas Epilepsi Indonesia (KEI)? Group ini bertujuan untuk memberi dukungan dan media informasi bagi penderita Epilepsi (ayan) di Indonesia yang masih belum mendapat perhatian semestinya dari pemerintah. Group ini juga merupakan media promosi tentang penyakit Epilepsi yang selama ini masih dianggap penyakit kutukan dan akibat guna-guna bagi sebagian masyarakat Indonesia, padahal anggapan itu sangat salah! 100% salah!. Epilepsi tidak ada kaitannya dengan magic atau supranatural, tidak menular, tidak diturunkan dan tidak ada bedanya dengan penyakit-penyakit kronik lain seperti Asma, Hipertensi, Diabetes, Jantung yang dapat disembuhkan dengan kesabaran minum obat secara teratur. Hanya karena gejala serangannya berupa kejang seperti orang kesurupan, membuat orang takut mendekat untuk menolong. Group ini saya dirikan sebagai wujud perhatian dan solidaritas saya sebagai salah Epilepsi suvivor yang berhasil sembuh dan menjalani hidup normal karena sejak dini sudah mendapat informasi tentang epilepsi dan cara pencegahannya. Sejauh ini sudah ada sekitar 600-orang yang gabung diKEI, dan mudah-mudahan kedepannya akan bertambah lagi jika Anda pun turut bergabung dan memberi dukungan. **promosi mode ON**
Ide lainnya lagi mungkin bisa dalam bentuk sharing informasi. Mereka yg tinggal diLN punya akses internet cepat dan akses database informasi yang luas. So, yang bisa dilakukan adalah mempermudah transfer informasi berguna melalui email, milis, social network ataupun blog, agar rekan-rekan diIndonesia pun bisa cepat tahu bahwa disebuah negara maju sana telah ditemukan sebuah metode baru menyembuhkan penyakit kronis yang menjadi momok dinegara kita, ada teknologi tepat guna yang bisa diterapkan untuk sawah yang minim air, ataukah berbagi jurnal penelitian ilmiah teknik efektif dan ekonomis untuk proses penyembuhan luka gangren diabetes, info beasiswa bagi mahasiswa dinegara berkembang, current news, dll. Masih banyak ide lainnya sih, namun kepanjangan kalo mo ditulis semua disini, hehehe....
Nah, alasan yang paling tidak bisa saya terima adalah jika ada orang cerdasnya Indonesia yang memilih berkarya diLN dengan alasan keluarga ataupun karir yang lebih menunjang. "Kasihan, anak-anak lebih suka tinggal disini, nanti gimana kulitas pendidikannya kalo balik keIndonesia" atau "Masa sih jauh-jauh sekolah diLN dengan gelar professor, sampai diIndonesia cuma dibayar segini?! Padahal saya ada tawaran lho dari Universitas X diAustralia dengan gaji 3x lipat".
Well......ironis sekali meminta dihargai hanya dengan ukuran materi, padahal saya yakin toh si Professor atau Guru Besar ini tidak lantas makan nasi berlauk garam, gara-gara gajinya kecil diIndonesia. Itu berarti mereka lebih memikirkan kepentingan dirinya pribadi ketimbang kemajuan bangsa. Ada juga beberapa orang penerima beasiswa yang pernah saya dengar sendiri mengatakan, mereka memilih LN untuk kelanjutan pendidikan dan karir anak-anaknya karena disana lebih kondusif dan anak tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif. Excuse moi, apa saya tidak salah dengar Maam? Apa itu berarti orang Timur perilakunya lebih buruk dibanding orang Barat? Kebebasan berekspresi, alkohol, free sex, Hedonisme, Konsumerisme dan Atheisme dianggap jauh lebih cool dan berharga untuk diamati dan dialami anak, ketimbang belajar tata krama, moral, beragama, sopan santun, keramahan, dan respek pada orangtua??
Ckckckck...sungguh kasihan sekali kalo seperti itu. Jangan salahkan lingkungan Indonesia dong! Tanya diri Anda baik-baik, sudahkah Anda menjadi orangtua panutan bagi anak Anda? Apa Anda yakin anak-anak rusak begitu saja karena lingkungan sekitarnya dan bukan karena kelemahan Anda sendiri yang tidak mampu membuat batasan tegas mana nilai yang benar dan mana yang salah? Mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak? Bukankah pendidikan pertama anak sejak lahir dimulai dari rumah dengan orangtua sebagai gurunya?!
Coba perhatikan foto-foto FB beberapa mahasiswa Indonesia diLN yg anda kenal, yang mungkin saat diIndonesia mereka adalah anak-anak santun, alim dan baik, namun setibanya disini menjadi liar, lupa sholat, suka dugem, mabuk-mabukan setiap weekeend padahal jelas-jelas ybs menuliskan muslim atau Islam diinfo agamanya.
Tanpa merasa bersalah dan dengan bangganya memperlihatkan foto-foto mereka yang berpakaian sexy dan minimalis (kalo gak mau dibilang hampir telanjang), dandanan menor, merem melek dilantai pub sambil memegang gelas wine atau botol beer, sebatang rokok putih diselip dijari tangan supaya dibilang keren dan gaul. Duuh....., ini ortunya ngajarin apa aja sih selama ini??? Kasihan betul anaknya, jadi korban ketidakbecusan orangtua yang belum bisa memberi fondasi kuat bagi anak-anaknya sebelum mereka dilepas ke alam nyata **iiih...hantu dong berarti**
Anak-anak ini mau dibilang keren, tapi gak tau dibagian mana kerennya karena merusak diri. Sok ikut-ikutan kebarat-baratan pula. Bahkan ada yang malu kalo ketahuan beragama karena teman-teman bulenya disini rata-rata gak beragama! Astagfirullah aladzhiiim!! Iiih! gemes banget deh pengen ngejitak ni anak-anak! Dan coba sekali-kali tanya mereka, apa rencanaya selepas kuliah S1 atau S2 disini? Pasti rata-rata jawabnya, "keknya sih mo nyari-nyari kerjaan disini ajah, malas balik ke Indonesia, Madesu. Masa depan suram!"
Well......ironis sekali meminta dihargai hanya dengan ukuran materi, padahal saya yakin toh si Professor atau Guru Besar ini tidak lantas makan nasi berlauk garam, gara-gara gajinya kecil diIndonesia. Itu berarti mereka lebih memikirkan kepentingan dirinya pribadi ketimbang kemajuan bangsa. Ada juga beberapa orang penerima beasiswa yang pernah saya dengar sendiri mengatakan, mereka memilih LN untuk kelanjutan pendidikan dan karir anak-anaknya karena disana lebih kondusif dan anak tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif. Excuse moi, apa saya tidak salah dengar Maam? Apa itu berarti orang Timur perilakunya lebih buruk dibanding orang Barat? Kebebasan berekspresi, alkohol, free sex, Hedonisme, Konsumerisme dan Atheisme dianggap jauh lebih cool dan berharga untuk diamati dan dialami anak, ketimbang belajar tata krama, moral, beragama, sopan santun, keramahan, dan respek pada orangtua??
Ckckckck...sungguh kasihan sekali kalo seperti itu. Jangan salahkan lingkungan Indonesia dong! Tanya diri Anda baik-baik, sudahkah Anda menjadi orangtua panutan bagi anak Anda? Apa Anda yakin anak-anak rusak begitu saja karena lingkungan sekitarnya dan bukan karena kelemahan Anda sendiri yang tidak mampu membuat batasan tegas mana nilai yang benar dan mana yang salah? Mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak? Bukankah pendidikan pertama anak sejak lahir dimulai dari rumah dengan orangtua sebagai gurunya?!
Coba perhatikan foto-foto FB beberapa mahasiswa Indonesia diLN yg anda kenal, yang mungkin saat diIndonesia mereka adalah anak-anak santun, alim dan baik, namun setibanya disini menjadi liar, lupa sholat, suka dugem, mabuk-mabukan setiap weekeend padahal jelas-jelas ybs menuliskan muslim atau Islam diinfo agamanya.
Tanpa merasa bersalah dan dengan bangganya memperlihatkan foto-foto mereka yang berpakaian sexy dan minimalis (kalo gak mau dibilang hampir telanjang), dandanan menor, merem melek dilantai pub sambil memegang gelas wine atau botol beer, sebatang rokok putih diselip dijari tangan supaya dibilang keren dan gaul. Duuh....., ini ortunya ngajarin apa aja sih selama ini??? Kasihan betul anaknya, jadi korban ketidakbecusan orangtua yang belum bisa memberi fondasi kuat bagi anak-anaknya sebelum mereka dilepas ke alam nyata **iiih...hantu dong berarti**
Anak-anak ini mau dibilang keren, tapi gak tau dibagian mana kerennya karena merusak diri. Sok ikut-ikutan kebarat-baratan pula. Bahkan ada yang malu kalo ketahuan beragama karena teman-teman bulenya disini rata-rata gak beragama! Astagfirullah aladzhiiim!! Iiih! gemes banget deh pengen ngejitak ni anak-anak! Dan coba sekali-kali tanya mereka, apa rencanaya selepas kuliah S1 atau S2 disini? Pasti rata-rata jawabnya, "keknya sih mo nyari-nyari kerjaan disini ajah, malas balik ke Indonesia, Madesu. Masa depan suram!"
Jujur saya pribadi sangat gak suka dan akan dengan tegas menentang ide orangtua yang menganggap "Membesarkan anak diluar negeri jauh lebih baik dan kondusif ketimbang membesarkan anak diIndonesia". Jika saatnya tiba dan saya diberi kepercayaan mendidik anak-anak saya sendiri, saya lebih memilih lingkungan dan kultur Indonesia yang penuh tata krama untuk mendidik anak ketimbang melihat banyak anak-anak Indonesia yang dibesarkan diluar negeri yang menurut saya sudah jauh dari nilai kesopanan dan budaya Timur orang Indonesia. No respect to olders dan terlalu demanding!
"Patotoai" kalo kata orang bugis Makassarnya.
Masalah kecil saja dipersoalkan lewat komunikasi yang panjang dan berbelit-belit dan anak bahkan berani membantah dan menghardik orangtuanya. Lalu setiap kali disiplin dan hukuman ditegakkan ke anak, eh.....orangtua dianggap melanggar HAM, padahal anak sendiri gitu lho!
Dari yang pernah saya lihat dan amati hanya sedikit keluarga Indonesia yang betul-betul bisa mendidik anak-anak mereka diluar sini dengan fondasi agama yang kuat dan nilai-nilai ketimuran yang santun, hanya sedikit sodara-sodara, sekali lagi ada.......tapi hanya sedikit!
Lebih banyak yang ikut-ikutan mendidik anaknya dengan pola barat. Memperlakukan anak seperti orang dewasa sejak kecil, mengajarkan kebebasan berekpresi dan tiba giliran mereka remaja, anak-anak ini pun menggonggong balik orangtuanya, menjadi kurang ajar kepada ayah ibunya saat mereka marah atau dilarang-larang melakukan sesuatu. Selalunya kata-kata yang keluar "It's my right! You have no right to interfere what my life would be!" Waaah, kalo saya yang ngomong kek gini ke Bapak saya, siap-siap kena rotan deh.
Mau lihat contoh polah remaja-remaja sini saat berdebat dengan orangtuanya? Lihat video dari tayangan sebuah program TV dari BBC Three, dimana remaja-remaja British asli dan keturunan berlaku seenak perutnya dirumah alias malas, memperlakukan orangtuanya seperti pembantu, membantah nasehat orangtuanya, having fun all the time. Namun setelah satu minggu tinggal dengan keluarga lain dibelahan bumi berbeda yg menerapkan aturan tegas dan disiplin dalam mendidik anak, akhirnya remaja-remaja British ini sadar dan berubah, bahwa hidup bukan hanya untuk sekedar fun dan hura-hura saja.
Nama programnya adalah The World's Strictest Parents. Anda akan terharu begitu tau, betapa beruntungnya kita orang Indonesia tumbuh dan dididik dengan nilai-nilai ketimuran sejak kecil dari orangtua kita dan ternyata itu pulalah yang dibutuhkan oleh remaja-remaja barat sini.
"Patotoai" kalo kata orang bugis Makassarnya.
Masalah kecil saja dipersoalkan lewat komunikasi yang panjang dan berbelit-belit dan anak bahkan berani membantah dan menghardik orangtuanya. Lalu setiap kali disiplin dan hukuman ditegakkan ke anak, eh.....orangtua dianggap melanggar HAM, padahal anak sendiri gitu lho!
Dari yang pernah saya lihat dan amati hanya sedikit keluarga Indonesia yang betul-betul bisa mendidik anak-anak mereka diluar sini dengan fondasi agama yang kuat dan nilai-nilai ketimuran yang santun, hanya sedikit sodara-sodara, sekali lagi ada.......tapi hanya sedikit!
Lebih banyak yang ikut-ikutan mendidik anaknya dengan pola barat. Memperlakukan anak seperti orang dewasa sejak kecil, mengajarkan kebebasan berekpresi dan tiba giliran mereka remaja, anak-anak ini pun menggonggong balik orangtuanya, menjadi kurang ajar kepada ayah ibunya saat mereka marah atau dilarang-larang melakukan sesuatu. Selalunya kata-kata yang keluar "It's my right! You have no right to interfere what my life would be!" Waaah, kalo saya yang ngomong kek gini ke Bapak saya, siap-siap kena rotan deh.
Mau lihat contoh polah remaja-remaja sini saat berdebat dengan orangtuanya? Lihat video dari tayangan sebuah program TV dari BBC Three, dimana remaja-remaja British asli dan keturunan berlaku seenak perutnya dirumah alias malas, memperlakukan orangtuanya seperti pembantu, membantah nasehat orangtuanya, having fun all the time. Namun setelah satu minggu tinggal dengan keluarga lain dibelahan bumi berbeda yg menerapkan aturan tegas dan disiplin dalam mendidik anak, akhirnya remaja-remaja British ini sadar dan berubah, bahwa hidup bukan hanya untuk sekedar fun dan hura-hura saja.
Nama programnya adalah The World's Strictest Parents. Anda akan terharu begitu tau, betapa beruntungnya kita orang Indonesia tumbuh dan dididik dengan nilai-nilai ketimuran sejak kecil dari orangtua kita dan ternyata itu pulalah yang dibutuhkan oleh remaja-remaja barat sini.
Ini salah satu episode dimana dua remaja British yang manja dan suka hura-hura dan mabuk-mabukan, dikirim ke keluarga Pengacara Cina diUSA yang sangat ketat tentang nilai-nilai penghargaan pada orangtua.
Lalu video berikut juga menunjukkan dua remaja British, dimana salah satu remaja tsb berasal dari keluarga muslim Pakistan yang memeiliki perilaku sangat jauh menyimpang dari ajaran Islam yang dianut keluarganya. Kedua remaja ini dikirim ke Afrika Selatan, tinggal 1 miggu dalam keluarga orangtua Lesbian, tapi memiliki dedikasi tinggi pada lingkungan sekitar mereka.
Now, apa pendapat Anda setelah menonton kedua video itu? Apakah anda ingin anak-anak remaja Anda tertular penyakit westernisasi seperti remaja-remaja diawal episode ini?
Tentu tidak bukan?!, Mari kita berdoa, mudah-mudahan anak-anak kita kelak menjadi anak-anak baik, religius dan berguna bagi bangsa dan negara. Amien Yaa Rabbal Aalamiiiin.
Tentu tidak bukan?!, Mari kita berdoa, mudah-mudahan anak-anak kita kelak menjadi anak-anak baik, religius dan berguna bagi bangsa dan negara. Amien Yaa Rabbal Aalamiiiin.
Kembali ke topik utama, intinya memilih untuk membangun Indonesia dari dalam maupun luar negeri adalah pilihan masing-masing orang. Namun akan jauh lebih baik jika pilihan tersebut benar adanya didasari untuk membuka peluang selebar-lebarnya demi kemajuan dan pembangunan Indonesia kearah yang lebih baik. Dan bukan karena sebaliknya, karena alasan karir semata ataupun kepentingan keluarga.
Kita boleh bangga karena punya seabrek-abrek Ilmuwan Indonesia yang lebih dikenal eksistensinya diLN ketimbang dalam negeri, tapi saya pribadi ribuan kali jauh lebih bangga dan salut bagi mereka yang setelah mengenyam pendidikan LN lebih memilih untuk pulang ke Indonesia dan berkarya menghasilkan sesuatu yang mungkin dianggap sepele tapi jauh lebih menyentuh langsung kebutuhan masyarakat Indonesia. Mungkin masih ingat pesan Nabi Muhammad SAW: Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain disekitarnya, dan manfaat sebesar-besarnya itu harusnya dirasakan lebih dulu bagi keluarga terdekat atau mereka yang secara geografis lebih dekat dengan kita dalam kehidupan sehari-hari.
Ingat, anak-anak kita dipedalaman Kalimantan atau Papua sana saat ini jauh lebih butuh guru penuh dedikasi yang bisa mengajar mereka cara membaca tulis dan mengenal dunia meski hanya bermodal kertas dan pensil, ketimbang Professor atau Doktor dengan titel berderet dari LN yang baru mampu menelurkan teori-teori baru tentang ilmu pengetahuan jika sudah dibayar dengan gaji tinggi dan fasilitas lengkap.
Kita boleh bangga karena punya seabrek-abrek Ilmuwan Indonesia yang lebih dikenal eksistensinya diLN ketimbang dalam negeri, tapi saya pribadi ribuan kali jauh lebih bangga dan salut bagi mereka yang setelah mengenyam pendidikan LN lebih memilih untuk pulang ke Indonesia dan berkarya menghasilkan sesuatu yang mungkin dianggap sepele tapi jauh lebih menyentuh langsung kebutuhan masyarakat Indonesia. Mungkin masih ingat pesan Nabi Muhammad SAW: Sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain disekitarnya, dan manfaat sebesar-besarnya itu harusnya dirasakan lebih dulu bagi keluarga terdekat atau mereka yang secara geografis lebih dekat dengan kita dalam kehidupan sehari-hari.
Ingat, anak-anak kita dipedalaman Kalimantan atau Papua sana saat ini jauh lebih butuh guru penuh dedikasi yang bisa mengajar mereka cara membaca tulis dan mengenal dunia meski hanya bermodal kertas dan pensil, ketimbang Professor atau Doktor dengan titel berderet dari LN yang baru mampu menelurkan teori-teori baru tentang ilmu pengetahuan jika sudah dibayar dengan gaji tinggi dan fasilitas lengkap.
Salam hangat dari Sheffield,
Aya*
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
*Salah satu mahasiswa Indonesia yang selalu ingat bahwa dirinya kuliah diUK menggunakan uang hasil keringat rakyat Indonesia dan akan membayarnya dengan cara kembali ke tanah air dan berkarya mengaplikasikan semua ilmu yang diperolehnya secara maksimal untuk kemajuan Bangsa dan Negara tercinta, Indonesia.
tulisan ini terasa penuh emosi..
BalasHapusYows: Hehehe, emang lagi emosi. Makanya daripada marah2 sama para pelaku, mending marah sama blog sendiri kan, lebih asertif:)
BalasHapusagak OOT ni mb aya...solusi untuk para student Indonesia yg sudah 'kebarat2an' enaknya apa & gmn ya mb??? hehe jadi pengen diskusi lebih lanjut...
BalasHapussangat senang dgn yg adegan rotan
BalasHapusterasa sangat nyata ;)
@Masitoh: Hehehehe, pertanyaannya gak OOT kok, masih nyangku2 gitu. Ada dua pedekatan yang bisa dilakukan yaitu dengan cara yang halus, juga cara kasar. Cara halus tentunya dengan cara mengingatkan, mengajak teman tsb (kalo muslim) sering-sering ikut pengajian rutin atau kumpul2 bareng kita, nunjukin contoh ke ybs kalo tanpa gaya hidup kebarat-baratan seperti itupun kita tetap punya banyak teman yang bisa membawa pengaruh positif pada diri kita pribadi.
BalasHapusSedangkan cara kasarnya (the least yaaah...ini dilakukan kalo sudah emosi tingkat dewa karena ybs ngeyel): Yang pernah saya lakukan adalah marahin dia didepan teman-teman bulenya (yg ngajak dugem dan mabok), trus laporin ke ortunya dan terakhir ngasih tau sama dia, bahwa saya gak yakin bisa berteman lagi sama ybs karena sudah gak dianggap sama sekali. Saya care makanya saya ngingetin, tapi kalo kamu udah gak butuh, fine! Lo gw, END!;p
@Anonim: Sakit memang dulunya tapi sangat bermanfaat dikemudian hari:)
Diliat dari judul tampaknya biasa-biasa aja, tapi setelah saya membacanya, saya acungin 20 jempol yang saya miliki buat tulisan dan blog ibu...bagus sekali bu, saya sangat mengapresiasi tulisan ibu, blog ibu sudah menjadi blog wajib yang saya baca ... apalagi baru tau kalo ibu seorang perawat, wah surpress banget dah...mudah-mudahan ibu bisa mampir ke kampus saya dan menceramahi dosen-dosen disana :)
BalasHapussalam dari mahasiswa perawat Banjarmasin
sayaa suka tulisan mbak
BalasHapustulisan ini sangat menginspirasi. saya jadi penasaran ma model pedidikan di LN. ada refrensinya gak mbk?
BalasHapusMmm..Aya, mungkin saya termasuk salah satu dari orang2 yang kamu ceritakan di atas, setelah kuliah di LN, pengennya tinggal di LN. Banyak alasan kenapa sampai ada keinginan itu, dan it's their right to choose the best for their family life walopun mungkin menurut kamu agak tidak masuk akal. Mungkin....karena Aya belum berkeluarga...mungkiiin...karena Aya memang punya idealis yang tinggi (acung jempol for that..^_*). Mungkiin..karena orang2 tersebut, termasuk saya juga memang ingin memberikan yang terbaik buat anak2 (terbaik itu sifatnya relatif dan sangat personal). Contoh: pulang ke Indo..kalau mau mendapatkan sekolah yang baik (kategori baik: kurikulum bagus, guru2 nya juga mendukung proses pendidikan..) harus membayar agak mahal. Tapi karena gaji yang tidak mencukupi untuk itu (karena di Indonesia, penghargaan terhadap bbrp profesi sangat rendah..and that's true..), akhirnya hanyak bisa memasukkan ke sekolah biasa2 saja...Setiap orang ingin hidup dengan nyaman..tidak usah bermewah-mewah..tapi bisalah untuk punya tabungan untuk masa depan anak-anak..Gaji di Indonesia untuk beberapa profesi sangat tidak sebanding dengan biaya pengeluaran. Nah, wajarlah, kalau beberapa orang yang memang dapat kesempatan untuk tinggal di LN, why not..for me, if I have a chance to do that, I'll do it. But still I will contribute to my country, that's for sure.
BalasHapusAgain, setiap orang merasakan hal yang berbeda mengenai tinggal di LN. Suami saya merasakan lebih bisa khusyuk beribadah selama di LN dibandingkan waktu di Indo, karena waktu kerja di Indo sangat menguras tenaga dan waktu, karena dalam pikirannya (sebagai kepala RT), how to feed my family...I need to work and work akhirnya waktu untuk beribadah jadi sangat sempit (not to mention going to pengajian). Pengalaman selama di LN, kerja tidak terlalu ngoyo tapi alhamdulillah bisalah menafkahi keluarga dan membantu keluarga lain di Indonesia yang tidak mampu.
Anyway..you got my point there....so..still ada kelebihan dan kekurangannya, but please do not judge them those who want to stay in abroad like that...because you may not know the real reason why they don't want to stay in Indonesia.
But again...I absolutely agree with you about go back home and helping our country become better...I can't wait to work together with you again...
Inti dr sebuah kehidupan adalah mensyukuri hidup itu sendiri dengan berusaha melakukan hal-hal yg positif dan berguna bagi diri sendiri dan orang banyak dengan memanusiakan manusia yg memiliki kesempurnaan dibandingkan mahluk hidup lain'y dimuka bumi ini. yang terpenting adalah "SEBELUM MELAKUKAN SUATU PERBUATAN (apapun itu: berkata2, bekerja dll sebagai'y) COBALAH UNTUK SELALU BERCERMIN PADA DIRI MASING2 DAN DEMI KEBAIKAN"
BalasHapusmb aya. salam kenal.. inspiratif...
BalasHapuswah, mantap banget tulisannya...
BalasHapussukses terus Mba...